Cerita Sex Cinta Satu Malam - Warung Cerita Sex

Sabtu, 03 Februari 2018

Cerita Sex Cinta Satu Malam

Warung Cerita Sex - Cerita Sex Cinta Satu Malam - Malam itu aku hanya dapat tidur nyenyak 3 jam saja. Kulihat waktu masih menunjukkan pukul 3 pagi lebih sedikit. Usahaku yang kuat untuk kembali tidur tak membuahkan hasil.



Kulihat Iswani masih tergeletak dalam keadaan tidur nyenyak di ranjangnya. Pikiranku berkecamuk soal pekerjaan yang akan kuhadapi sehari lagi dan sama sekali belum kusiapkan.

Kuputuskan untuk bangun dan duduk termenung di kursi didalam kamar penginapan.

Kupandangi meja disebelahku yang penuh dengan botol-botol aqua, beberapa makanan kecil, dan kantung-kantung plastik yang tak ada isinya.

Kupindahkan semua barang diatas meja keatas laci, lalu kubersihkan meja itu. Kemudia aku mengambil semua berkas dan catatan tentang pekerjaanku dari dalam tas dan meletakkannya diatas meja.

Kubaca satu persatu berkas tersebut dan memilah-milahnya menjadi beberapa bagian.

Bagian-bagian yang telah terpilah-pilah itu kubaca lagi dengan lebih teliti dan menguraikan isinya didalam otakku sehingga terbentuklah sebuah bahan informasi yang berhubung-hubungan satu sama lainnya.

Beberapa data yang masih kurang demi kelengkapan data kucatat dalam jurnal kerjaku.

Kemungkinan-kemungkinan tidak kuperoleh data yang kuperlukan juga kucatat. Beberapa langkah alternatif untuk mengantisipasi kemungkinan-kemungkinan terburuk muncul dan ikut kucatat.

Dengan berusaha secermat mungkin berdasarkan data yang ada dan catatanku, aku mulai membuat rencana kerja.

Setiap baris rencana yang kucatat kubayangkan pula langkah-langkah kerja yang akan kulakukan.

Setiap hal penting yang muncul dari bayanganku kutulis dalam jurnal. Kubaca lagi rencana kerja yang telah selesai kucatat, lalu kurangkai hubungan setiap langkah rencana kerja dan kubuat skemanya.

Seusai mengulang dan merubahnya hingga kurasa cukup, kuhentikan kegiatanku tersebut. Tak terasa waktu telah menunjukkan pukul 5.42 pagi.

Konsentrasi tinggi serta posisi duduk dan letak meja didalam penginapan yang sebenarnya tidak ideal untuk dipakai kerja membuat leherku terasa pegal.

Selesai mengemasi semua berkas dan catatan, kucoba berdiri dan memutar-mutar kepala untuk melemaskan otot leher dan punggung.

Kukenakan jaketku dan keluar dari kamar mencari hawa segar. Di teras kamar aku melakukan stretching selama beberapa menit. Kucoba berputar-putar di sekitar teras.

Merasa bosan, kuambil rokokku yang selalu tersedia dalam saku jaket dan kusulut sebatang rokok.

Setengah dari rokoknya telah habis ketika kulihat Iswani keluar dari pintu kamar dengan menggunakan kaos oblong besar dan celana pendek sebatas paha.

“Sudah ngopi, Tok?”, tanyanya.

Aku menggelengkan kepala saja dan meneruskan merokok.

“Tumben Tok tidurmu sebentar, bangunmu pagi sekali ya, aku sempat melihatmu sibuk tapi karena masih ngantuk jadi aku pilih tidur lagi aja daripada membantumu”, komentarnya.

“Mbak sudah benar, kalau Mbak bangun dan membantuku, bisa-bisa tambah kacau”, kataku sambil memikirkan pekerjaan yang akan kuhadapi besok.

“Mmm.. gitu ya, jangan harap aku mau membatumu lagi ya”, katanya dengan nada bergurau.
“Ke kafetaria yuk”, ajakku dengan tak menghiraukan gurauannya.

Beberapa tamu penginapan yang ada di kafetaria menoleh ke arah Iswani ketika kami memasuki kafetaria penginapan.

Pura-pura tidak tahu gelagat para pria yang sedang menaksirnya, Iswani mengajakku duduk di meja paling pojok.

Aku masih cuek dengan keadaan sekelilingku tapi Iswani agak gelisah dan mengeluhkan ajakanku ke kafetaria.

Setelah memesan sarapan, Iswani mulai membuka percakapan, tapi karena pikiranku masih di pekerjaan maka aku hanya berbicara sedikit.

“Kenapa sih Tok kamu kok banyak diam? nggak seperti biasanya”, tanya Iswani.

“Nggak apa-apa Mbak, cuma mikir kerjaan besok”, jawabku santai.

“Buat apa dipikir sekarang, kan masih besok?”, tanyanya lagi.

“Daripada nggak ada yang kupikir”, jawabku.

“Kenapa nggak mikir aku saja?”, tanyanya dengan senyum genit.

“Rugi!”, jawabku singkat dengan bergurau tanpa kupikir akibatnya.

Sebuah cubitan langsung menancap di tangan kiriku.

“Aduh Mbak, sakit!”, keluhku agak keras sehingga agak terdengar dan menarik perhatian orang-orang disekitar kami.

Mungkin karena malu Iswani segera melepaskan cubitannya.

“Tadi malam tangan kiri, sekarang kanan, Mbak kok suka sekali nyubit sih!”, keluhku.

“Aku nggak rugi, kok”, jawabnya santai.

“Enak saja, aku yang rugi Mbak, perusahaan tidak mengasuransikanku dari cubitan”, kataku serius.

Tak lama kemudian pesanan kami datang.

“Tok, katamu kamu belum pernah punya pacar, benarkah?”, tanyanya yang langsung kujawab dengan anggukan sambil meniup kopi panasku agar agak dingin.

“Itu karena pikiranmu belum dewasa. Caramu berbicara dengan wanita asal saja tanpa pernah kamu pikirkan akibatnya.

Kamu tidak akan bisa membuat wanita senang dengan cara ngobrolmu yang seperti itu.”, nasihat Iswani padaku.

“Lha terus kenapa Mbak mau nginap denganku padahal aku kan nggak ngajak”, tanyaku dengan suara berbisik.

“Karena aku tahu bahwa kamu tipe pemuda gila kerja yang cuek dan jujur bukan tipe playboy perayu.

Aku suka pemuda seperti itu, cuman terkadang cuekmu sangat keterlaluan. Kamu sendiri kenapa mau?”, jawabnya yang dilanjutkannya dengan pertanyaan.

“Mana bisa aku menolak dibawah ancaman cubitannya Mbak”, jawabku bergurau.

“Uhh.. kamu nggak pernah bisa diajak serius”, keluhnya dengan muka masam.

“Aku duarius Mbak, bukan serius lagi”, kataku ngotot yang hanya dibalas dengan senyumannya.

“Mbak, pria yang duduk disana ada yang ngelihatin Mbak terus, sepertinya naksir, mau kukenalkan Mbak”, kataku sambil menghabiskan roti bakarku.

“Memangnya kamu sudah kenal, Tok?”, tanyanya.

“Nanti setelah Mbak kukenalkan, ganti Mbak kenalkan saya”, jawabku sambil meneguk kopiku yang masih panas dengan hati-hati.

“Kamu jangan macam-macam, Tok!”, ancamnya padaku yang lagi menikmati rokok.

“Tampangnya sih oke tapi pria seperti itu hanya mau menangnya sendiri seperti bekas suamiku yang pertama”, sambungnya.

“Terus yang mengantar Mbak ke bus di Balikpapan, suami yang ke berapa?”, tanyaku halus.

“Dia yang kedua, tapi aku juga cuma istri keduanya, istri pertamanya ada di Jakarta dan mungkin tak tahu mengenai aku.

Aku ke Banjarmasin ini juga karena dia mau mengunjungi istri dan anaknya di Jakarta”, jawabnya pelan.

“Kenapa Mbak mau dimadu?”, tanyaku tambah penasaran.

“Daripada hidup menjanda, jadi istri muda yang sering ditinggal suami saja seperti ini saja sudah susah apalagi jadi janda kembang”, jawabnya mengeluh.

“Eh Mbak, jangan besar kepala dulu, iya kalau kembang mawar atau melati, kalau kembang kamboja yang seperti di makam-makam, bagaimana? Pasti yang tertarik adalah golongan hantu-hantu, hehehe..”, gurauku merubah raut muka sedihnya menjadi kemarahan.

“Iya, terus akan kusuruh hantu-hantu itu nyubitin seluruh tubuhmu tak tersisa”, balasnya dengan senyum kemenangan. “Sudah Tok, ayo kembali ke kamar!”, ajaknya.

Sesampai di kamar aku duduk termenung oleh pikiran pekerjaan diatas ranjang Iswani yang lebih dekat dengan pintu kamar dibanding ranjangku.

Sementara itu Iswani melepas pakaiannya hingga tinggal ber-BH dan celana sambil mengambil handuk kering dari tasnya.

“Melamun apa Tok”, tanya Iswani.

Berusaha menyembunyikan pikiranku kujawab seadanya, “Ah nggak melamun kok, cuma membayangkan rasanya dicubit hantu seperti yang Mbak tadi bilang”.

“Pingin tahu rasanya?”, tanyanya dengan senyum menggoda dan menuju ke arahku.

Duduk tepat didepan tangan Iswani sudah mulai merapat dengan tubuhku. Mengantisipasi cubitannya yang menyakitkan, kedua tangannya kutangkap dengan cepat.

“Mbak, jangan nyubit lagi Mbak, ampun Mbak..”, katau meminta belas kasihannya.

“Tidak Tok, yang ini pasti kamu suka, percaya deh..”, katanya meyakinkan.

Meski masih ragu tapi pegangan tanganku sudah mengendor dan tangan Iswani telah mencapai bagian depan celanaku, usapan-usapannya yang halus diatas permukaan celana terasa sampai permukaan kulit kemaluanku.

Raguku benar-benar hilang dan tangannya semakin bebas bergerak. Dengan mata terpejam kurasakan usapan tangannya berubah menjadi remasan yang menghanyutkan dan membuat batang kemaluanku semakin tegak mengeras hingga tampak sangat menonjol.

Dengan serta merta ditariknya celana pendek dan celana dalamku sekaligus disertai hembusan nafas beratnya yang makin menggebu.

Iswani membungkukkan badan dan mendekatkan bibirnya pada ujung batang kemaluanku.

Kubelalakkan mataku ketika merasakan bibirnya benar-benar menyentuh ujung batang kemaluanku.

Ciuman basah berimbuh kuluman yang dilakukannya pada ujung batang kemaluanku membuatku mendesah, “Ah.. Mbak.. Mbak..”.

Dalam hitungan menit aku mengalami shock kenikmatan. Seusai kesadaranku berangsur pulih tanganku segera beraksi dengan membuka BHnya dan mengusap-usap punggungnya.

Dengan membungkukkan badan kuraih kedua pantatnya yang masih dilindungi celana dalam, lalu kuremas dengan kedua tanganku.

Merasa kerepotan membungkukkan badan, tubuhku kembali kuluruskan. Kemudian tempurung lutut kananku dengan sengaja kugesekkan pada selakangannya.

Gesekkan tempurung lutut pada bagian depan celana dalamnya ternyata sangat merangsangnya hingga melepas kuluman pada ujung batang kemaluanku.

Sibuk mengimbangi gesekkan tempurung lutut, Iswani hanya memegang erat batang kemaluanku.

Karena tak sabar lagi menahan keinginan untuk menikmati rangsangan yang lebih dari gesekkan tempurung kakiku pada daerah kemaluannya yang masih dibalut celana dalam, ia menegakkan badannya kembali.

Dalam posisi berjongkok didepanku ia berusaha melepas celana dalamnya.

Ketika celana dalamnya yang berusaha dilepaskannya sampai pada lutut, masih pada posisinya jongkok yang hampir tak berubah, aku segera membuat gerakan menyelam kebawah selakangannya,

membalikkan tubuhku dan mendongkak keatas untuk menempelkan bibirku pada daerah kemaluannya.

Kedua tanganku turut andil dengan segera menarik kedua pinggulnya agar liang kenikmatannya dapat segera kuterobos dengan juluran lidahku.

Rupanya Iswani punya pikiran yang sama denganku. Kedua kakinya mulai ditarik kebelakang, selakangannya menindih mulutku, bibir dan lidahkupun makin berpolah diseluruh bagian kemaluannya.

Posisi Iswani yang berada diatas tubuhku segera dimanfaatkannya untuk kembali bermain dengan batang kemaluanku.

Mengimbangi rangsangan yang kuberikan pada daerah kemaluannya, Iswani mengulum batang kemaluanku.

Selama beberapa menit kami berdua saling memberi dan menerima rangsangan dengan aksi 69 seperti yang pernah kuingat dalam beberapa cerita temanku sebelumnya.

Iswani menghentikan babak pemanasan dengan menarik tubuhnya, berbaring terlentang sambil menarik tanganku memberi tanda untuk segera menindihnya dan memasukkan batang kemaluanku pada liang kenikmatannya.

Tapi kali ini aku ingin bereksperimen. Kubaringkan badanku disebelah kirinya dan kuhadapkan tubuhku kearahnya.

Kaki kirinya kuangkat sedikit keatas dan kuletakkan diata pinggulku sehingga batang kemaluanku yang telah mengeras dapat masuk dengan posisi miring.

Setelah agak nyaman, kuberi pinggulku dorongan maju-mundur yang semakin cepat. Tangan kiriku yang bebas meremas kedua payudaranya bergantian.

Berbaring nyaman, tubuh Iswani mulai bergoyang seirama dengan gerakanku.

Seiring dengan goyangan tubuhnya, Iswani mendesah-desah, “Ssh.. ssh.. Tok, mmh..”. Kuperlambat gerakanku untuk memperpanjang babak ini.

Kudorong sisi kiri tubuh Iswani sehingga membelakangiku dan sama-sama menghadap kesamping kanan. Kurapatkan dadaku pada punggunya hingga bergesek.

Kudorong lebih dalam batang kemaluanku dalam liang kenikmatannya, lalu kugerakkan pinggulku maju mundur.

Kedua tanganku memegang kedua payudaranya dari belakang badannya. Kucumbu tengkuk kirinya dan sesekali kukulum telinga kirinya.

Beberapa saat kemudian tubuh Iswani bergetar seiring dengan klimkaksnya. Getaran klimaksnya seakan menghanyutkan pertahananku hingga akhirnya puncak ledakanku tak dapat kutahan lagi.

Kepuasan yang kuperoleh mengantarkanku pada dunia mimpi. Tertidur pulas selama beberapa jam akhirnya aku terbangun oleh suara ketukan pintu.

Setelah kukenakan celana pendek kubuka pintu, ternyata yang ada dihadapanku adalah Iswani yang telah kembali balik kekamar setelah keluar entah kemana dan berapa lama.

“Ya ampun Tok, kamu baru bangun!”, teriak Iswani.

“Hmm.. emangnya kenapa Mbak?”, tanyaku

“Sudah jam berapa ini? Hampir jam 3 sore tahu!”, tanyanya yang kemudian dijawabnya sendiri dengan menunjuk jam tangannya.

Tanpa komentar sedikitpun aku meninggalkannya menuju kamar mandi sambil membawa pakaian ganti yang telah kuambil dari dalam tasku.

Seusai mandi dan mengenakan pakaian aku keluar dari kamar mandi. Kulihat Iswani duduk didepan meja dan mengeluarkan bungkusan yang berisi beberapa roti basah diatas meja.

“Kamu sudah makan Tok? pasti belum, kalau tidur kamu kok kuat sekali!”, omelnya.

“Mbak, boleh minta rotinya!”, kataku dengan halus.

“Makan aja, kalau tahu kamu baru bangun sudah kubelikan makan tadi”, katanya.

Setelah melahap 3 potong roti, aku bertanya padanya, “Dari mana saja Mbak kok dapat roti enak?”

“Tadi aku silaturahmi ke tempat saudara-saudara dan pulangnya dibawain ini”, jawabnya.

“Oh ya Tok, karena besok kamu sudah mulai bekerja, nanti malam aku akan menginap di Banjar Baru agar tidak mengganggumu.

Sekalian saja aku pamitan padamu jika dalam beberapa hari kedepan kita tak bisa ketemu lagi. Ini notanya kamar sudah aku bayar sampai malam ini,

jadi besok kalau kamu keluar dari sini jangan kamu bayar lagi tapi kalau melanjutkan silakan bayar sendiri ya.

Terima kasih banyak ya mau menemanin aku.”, kata Iswani dan mencium pipiku.

Terkejut oleh ucapannya yang panjang dan mengagetkan aku hanya mengucapkan “Terima kasih banyak, Mbak”.

Kemudian Iswani meninggalkan penginapan sementara aku hanya dapat termenung.

Tiba-tiba aku merasakan sebuah rasa kesepian menyelinap masuk dalam hatiku padahal sejak lama aku terbiasa bepergian jauh seorang diri bahkan dengan jangka waktu yang lebih lama dari ini, tapi kali ini.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar