Menghitung hari detik demi detik. Mengajarkanku untuk lebih menghargai hidup. Seperti kata pepatah, usaha tak kan mengkhianati hasil. Aku adalah istri seorang pengusaha yang bisa di bilang cukup kaya. Anakku dua, kebetulan laki-laki semua dan usianya pun sudah menginjak dewasa. Mereka memilih bersekolah di luar negeri. Sedangkan suamiku seorang pengusaha yang sangat sibuk dengan usaha – usahanya.
Alhasil tinggallah diriku dengan segala kesepian yang ada. Bila bangun pagi hari, aku selalu termenung. Karena suasana rumah yang cukup besar sehingga aktifitas yang dikerjakan pembantu pembantuku nyaris tak terdengar, apalagi di dalam kamarku yang luas. Malam hari pun sama, setelah pembantuku beraktifitas mereka segera pergi tidur dalam waktu yang bisa dibilang masih sore. Hanya acara televisi yang selalu menemani, itupun sudah membuatku bosan. Karena semua acara sudah aku hafal dan semua menjadi tidak menarik lagi. Aku mencoba untuk mulai beraktifitas dengan tetangga, tapi menjadi percuma karena tetanggaku semua sibuk dengan urusan masing – masing. Karena stres di rumah, aku memutuskan untuk pergi ke tempat sahabatku Marlena, di Jakarta. Hal itulah yang membuat aku berubah total dan drastis.
“Hai Marlen, udah tidur belum?”
“Belum, lagi nonton TV. Ada apa ? Koq tumben lo malem malem nelpon.”
“Gue lagi stress banget nih, sejak anak-anak pergi ke Singapore di rumah sepi banget. Mana Ruben gak pulang-pulang. Boleh gak gue nginep di rumah lo ?”
“Jelas bolehlah, lo kayak ama siapa aja. Kita khan udah kayak sodara.”
“Iya tapi gue khan takut ngeganggu elo sama suami lo.” ( Marlena anaknya dua satu laki-laki, satu lagi cewek. Yang laki-laki kuliah di Amerika, sedangkan yang cewek udah nikah trus ikut suaminya ke Aussie )
“It’s oke koq, Willy lagi pergi ke Amrik mungkin 2 – 3 minggu lagi baru pulang.”
“Ya udah kalo gitu, besok jemput gue di airport ya. Gue naek pesawat paling pagi.”
“Oke, ntar pagi gue suruh sopir standby di bandara.”
Itulah pembicaraan singkat dengan sahabatku malam sebelum keberangkatanku.Ketika mobil berhenti tepat di depan pintu rumah, ku lihat Marlena bergegas menghampiriku, lalu kami berpelukan sambil bercipika cipiki.
“Wah wah makin cantik dan sexy aja nih” kata Marlena sambil menatapku dari atas sampai ke bawah.
“Ah, biasa aja, lo sendiri juga oke , spa di mana ? Gue pengen di pijit nih biar relax.”
“Ah bisa aja deh, gue cuma luluran aja di rumah. Kalo cuma pijit sih, Wagino juga bisa. Yang ngelulur en mijitin aku khan si Wagino. Do’i jago lho, di jamin ketagihan deh.
“Wagino .. ? Siapa Wagino ?”
“Sopir pribadi gue, yang tadi ngejemput lo. Sekarang lo ke kamar, ntar gue suruh si Wagino ke kamar lo”
“Tapi Marlen.., gue khan malu. Masak yang mijit laki-laki, masih muda lagi.”
“Udah lo tenang aja, ntar gue temenin deh biar lo nggak risih”
Sesampainya di kamar, aku berbaring sejenak membayangkan Wagino yang akan memijitku, menyentuh bagian-bagian tubuhku yang sudah lama tidak disentuh oleh suamiku. Orangnya masih muda kira-kira umur 25 tahun, tinggi sekitar 170 cm, berat sekitar 70 kg, berkulit sawo matang tapi bersih sehingga memberi kesan macho, dengan rambut berpotongan rapi, sopan dan ramah terlebih sorot matanya yang tajam dan rahang yang memberikan kesan gagah. Apabila dalam setelan safarinya, terlihat seperti seorang bodyguard. Sehingga aku merasakan ada suatu desiran aneh dalam diriku. Seperti adrenalin yang bergejolak, membuatku darahku bergejolak, dan aku pun terbuai dalam lamunanku sendiri.
Tok…tok…tok… suara ketukan pintu membuyarkan lamunanku.
“Siapa ?”
“Wagino, bu.” Lalu akupun melangkah dan membuka pintu. Ku lihat Wagino sudah berganti pakaian, dari setelan safari berganti dengan celana jeans dan kaos ketat tipis warna putih yang semakin memperlihatkan otot-otot Marlengannya yang kekar, juga six pack perutnya terlihat menonjol. Aku sempet berpikir, koq kayak model iklan susu L-men, tadi kayak body guard. Hebat juga Marlena nyari sopir pribadi, jangan-jangan dia sopir plusnya Marlena, tapi segera ku tepis pikiranku.
“Mari masuk, lho.. bu Marlena mana ?” tadi sedang terima telpon, saya disuruh duluan, jawab Wagino dengan sopan.
“Hm, ya udah kamu tunggu sebentar saya ganti dulu.”
“Iya bu, permisi…,” jawabnya.
Lalu aku pun berjalan ke kamar mandi, setelah pintu ku tutup, ku buka pakaianku. Ku pandang tubuhku dari kaca besar yang terletak di atas wastafel. Ku putar ke kiri dan ke kanan, benar juga apa yang di katakan sahabatku tadi. Tubuhku, walaupun sudah beranak dua masih terlihat seperti iklan Tropicana Slim, memang agak montok sedikit membuat terlihat lebih sekal. Di usia yang hampir memasuki kepala empat, dengan tinggi 169 cm dan berat 53 kg, di tunjang dengan payudara 34 B, aku masih tidak kalah dengan anak-anak remaja sekarang. Maklumlah aku sering spa untuk mengurangi stress yang ku alami, tak heran jika kulitku pun putih mulus. Bahkan selulitku telah ku buang melalui operasi di Singapore setelah aku melahirkan anak yang kedua. Lalu kuperhatikan wajahku, meski ada sedikit keriput samar di daerah mata, tapi menurutku wajahku masih cukup cantik. Karena di kala aku pergi shopping atau sekedar jalan-jalan di mall, banyak lelaki termasuk remaja melirik ke arahku, bahkan ada di antara mereka bersuit ke arahku. Ku lilitkan handuk di sekeliling tubuhku, lalu kurapikan rambutku, aku pun berjalan ke luar.
Ketika ku tutup pintu kamar mandi dari luar, Wagino bangkit berdiri dan menatapku. Ku lihat dia terpana melihatku yang hanya berbalut selembar handuk dengan rambut yang tergerai di bahu.
“kenapa Gino ?”
“Eh, enggak bu. Ibu terlihat cantik sekali, mirip cerita bidadari yang di filem – filem.”
“Ah, kamu bisa aja Gino, pinter ngerayu. Udah berapa pacar yang kena ama rayuan kamu?” kataku sambil duduk di springbed.
“Enggak ada bu, saya gak punya pacar. Dulu waktu sma pernah punya pacar, tapi pas lulus langsung di nikahin sama bapaknya. Bapaknya gak mau anaknya pacaran sama orang miskin kayak saya. Ibu mau dipijit sekarang ?”
“Ehm, boleh deh” kataku sambil berbaring. Wagino pun melangkah ke kasur sambil membuka tutup body lotion. Permisi bu, lalu kurasakan tangan Wagino menyentuh telapak kakiku. Ada rasa geli dan nyaman ketika Wagino memijit telapak kakiku. Setelah beberapa menit, pijitan mulai naik ke betis dan setengah pahaku, karena separuh pahaku yang atas masih terlilit handuk. Hem, benar juga yg dibilang Marlena, nyaman juga pijitannya. Tapi koq Marlena gak nongol-nongol, sahabatku itu kadang kalo nelpon bisa ber jam-jam lamanya, paling cepat 1 – 2 jam. Ah terserahlah, aku udah gak peduli karena terhanyut dalam pijitan-pijitan Wagino, sehingga tanpa sadar akupun terlelap.
Entah sudah berapa menit, tiba-tiba aku merasa ada yang memanggilku. Bu..bu..DeMarlenaa
“ya, ada apa” jawabku dalam keadaan setengah sadar.
“Maaf, saya buka handuknya ya bu. Kakinya udah selesai dipijit, sekarang mau mijit punggungnya”
“Ya, silahkan” jawabku spontan. Ketika tangan Wagino menyentuh bahu dan pundakku, kesadaranku mulai pulih. Aku teringat keadaan saat ini, di mana Marlena masih belum selesai menerima telepon. Sedangkan aku hanya berdua dengan Wagino, sedangkan tubuhku hanya bagian depan yang tertutup, karena aku berbaring tengkurap, sebagian dari payudaraku yang tertekan pasti terlihat. Berbagai perasaan terbersit dalam hatiku, karena ini pengalaman pertamaku disentuh oleh lelaki selain suamiku. Biasanya aku selalu dipijit oleh Ginoita, hal inilah yang membuatku menolak saat sahabatku menyarankan Wagino untuk memijitku. Dengan pemijat segagah Wagino, dan juga setelah sekian lama aku belum melakukan hubungan intim hal ini membuat hatiku berdebar-debar. Antara rasa malu dan nafsu birahi yang mulai menghinggapi diriku.
Hilang sudah rasa nyaman, berganti dengan perasaan aneh yang perlahan muncul seiring dengan pijatan Wagino. Sehingga saat perasaan aneh itu sudah menguasai diriku, tanpa sadar aku mulai mendesis kala tangan Wagino mengenai daerah-daerah sensitifku. Dia mengurut dari pinggul bawah ke atas, lalu tangannya beralih menuju pundak, ketika tangannya menyentuh leherku, aku langsung menggelinjang antara geli dan nafsu birahi. Di situ merupakan daerah sensitif keduaku, di mana yang utama adalah clitorisku. Sehingga aku semakin liar mendesis dan tanpa sadar aku berbalik. Dengan napas tersengal-sengal ku buka kelopak mataku, kutatap Wagino yang menatapku dengan posisi berdiri diatas lututnya. Ku lihat peluhnya bercucuran sehingga kaosnya basah oleh keringat, membuat tubuhnya jadi semakin sexy. Aku sudah kehilangan akal sehatku, sehingga aku sudah tak ingat lagi bahwa tubuhku yang telanjang kini terpampang jelas di hadapan Wagino. Wagino pun seolah mengerti akan keadaanku lalu di ambilnya handuk yang tadi melilit tubuhku. Di lapnya keringat di wajah, lalu ketika dia membuka kaosnya langsung aku ambil handuk ditangannya. Ku seka keringatnya sambil kuraba tubuhnya, karena tubuh suamiku sangat berbeda dengannya. Kuraba dadanya yang bidang, lalu tangan kiriku turun hingga six packnya sambil kuciumi dadanya. Sedangkan tangan yang satu lagi membelai punggungnya yang juga berotot.
Ketika tangan kiriku meraih kancing celana jeans nya, tangan kanannya menangkap tangan kiriku, lalu tangan kirinya meraih pinggangku. Sambil menarik pinggangku ke atas, dilumatnya bibirku.
“Oohh.. “ aku merasakan sentuhan yang berbeda dari yang pernah aku rasakan. Kubalas dengan melumat bibir bawahnya, lalu kurasakan lidahnya menerobos masuk ke dalam mulutku, kami saling melumat. Lalu di rebahkannya aku, dan dia membuka kancing celananya. Pemandangan itu sungguh erotis sekali di hadapanku, aku bangkit lagi dan ku elus celana dalamnya yang terlihat kepenuhan itu. Ku cium bagian atasnya, tak tercium bau kejantanannya, tampaknya dia cukup merawat miliknya itu. Ku kecup kepalanya sambil ku pelorotkan celana dalamnya. Oohh, gelegak nafsu birahiku semakin menggelora. Segera kumasukkan batangnya ke dalam mulutku, ku sedot keluar masuk, ku dengar rintihannya yang membuatku semakin panas. Ketika ku lihat ke atas, tampak dia terpejam menikmati sedotanku. Setelah ku hisap selama kurang lebih sepuluh menit, Wagino menghentikan gerakanku. Di lumatnya lagi mulutku sembari membaringkan aku di tempat tidur. Lalu dilumatnya leherku, sehingga aku kembali menggeliat liar.
”Ekhs.., Gino…” Ku cengkeram sprei tempat tidur, sementara tangan yang satu lagi mencengkram punggungnya. Tampaknya Wagino sudah mengetahui kelemahanku, dia segera berpindah untuk melumat bukit kembarku. Lidahnya melumat habis kedua bukitku beserta ujung ujungnya. Sementara tangannya terus turun meluncur melalui perutku, sampai pada bukit kecilku yang berbulu tipis yang kini sudah semakin basah. Aku memang selalu rajin mencukur bulu jembutku, karena aku suka memakai celana dalam G-string. Tangannya kini sudah mencapai lipatan kemaluanku, dan tersentuhlah clitorisku. Aku langsung tersentak, seperti terkena setrum ribuan volt.
“akhs….. Gino……” jeritku sambil meremas rambutnya. Sementara tangan Wagino bermain di selangkanganku, lidahnya kini turun ke perutku, bermain sebentar di seputar perut lalu kembali turun ke kemaluanku. Kedua belah tangannya memegang kedua belah pahaku, sambil di pandanginya kemaluan ku yang basah oleh cairan keGinoitaanku.
“Kemaluan bu marlena indah sekali..” perkataan itu seakan memberi suntikan gairah sehingga ku berkata dengan merintih
“ayo Gino.. jangan di liatin aja” langsung di benamkannya bibirnya ke dalam kemaluan ku, sementara hidungnya mengenai clit ku, sehingga aku langsung tersentak mendongak ke atas. Di julurkannya lidahnya menyapu bagian dalam kemaluanku, sehingga aku merasa seperti ada yang menggelitiki kemaluanku itu.
“oohhh….terus Gino…..terus….” rintihku sambil terus meremasi rambut di kepalanya.
Tangannya menggapai kedua belah payudaraku, sambil meremasi sesekali dia pelintir kedua pentilku. Membuatku menjadi semakin liar, dan ku rasakan badai kenikmatan yang terus menggelora di dalam diriku. Sampai akhirnya saat bibir Wagino mengecup lalu menghisap clit ku, aku tersentak sedemikian hebatnya sambil menjerit
“Aaakkhhsss…… wwaaannnn………” ku jepit kepalanya sambil kuangkat pinggulku tinggi tinggi, kedua tanganku menjambak rambutnya. Wagino pun tak henti hentinya terus menusuki kemaluanku dengan lidahnya sembari memutarkan kepalanya, dihisap dan dijilatinnya hingga habis cairan yang keluar meleleh dari kemaluanku, aku pun serasa terbang di aGino-aGino.
Seketika itu tubuhku melemas, Wagino pun merangkak naik ke arahku, di peluknya diriku, di kecupnya keningku lalu dilumatnya bibirku. Akupun membalasnya dengan melumat kembali bibirnya yang menurutku cukup sexy untuk dilumat. Kami saling berpandangan beberapa saat, aku serasa kembali menemukan sesuatu yang kini mengisi relung-relung hatiku yang sepi.
“Masukin penismu Gino, tapi pelan-pelan dulu ya. Aku masih agak lemas nih” kataku dengan lirih di telinganya.
“Baik, bu.” “Jangan panggil ibu terus ah, gak enak didengernya. Panggil aja honeyku ?”
“Baik, honeyku. Aku masukin ya.”
“He eh, tapi pelan pelan lho” dan kurasakan kepala penisnya yang mengkilap merah menempel pada kemaluanku.Gelorabirahi
Ada rasa berdebar di hatiku, inilah kejantanan selain milik suamiku yang beruntung dapat memasuki liang senggama milikku. Kurasakan perih ketika kepalanya masuk sedikit di bibir lubangku
“Ginon, pelann.. agak perih nih.”
“Iya honeyku, ini juga pelan-pelan koq.” Wagino kembali menekan pantatnya, dan penisnya kurasakan semakin menyeruak masuk ke dalam kemaluanku. Akupun spontan memeluk Wagino
“aakh..Gino….”
“tahan sedikit honeyku!” Waginopun menghentakkan pantatnya dengan sekali hentakan dan seketika kurasakan perih yang kurasakan saat keperaGinoanku hilang. Wagino pun mengangkat pantatnya pelan-pelan, sehingga aku merasa kemaluanku seperti tersedot keluar seiring dengan penis Wagino. Lalu ditekannya kembali penisnya ke dalam kemaluanku, rasa perih yang semula kurasa itu hilang berganti sensasi nikmat di kala punya Wagino keluar masuk dengan berirama menggelitiki dinding kewanitaanku.
“akhs…enak Gino….teruss honeyku….”
“kemaluanmu seret banget yang, penisku kayak di urut nih” dilumatnya kembali bibirku, kamipun berpagutan sambil bergoyang pelan. Setelah beberapa saat Wagino mengentotiku dengan irama pelan, yang membuatku seakan sedang bercinta dengan kekasih yang telah lama tak bersua, gairahku timbul bersama dengan kekuatan yang mulai pulih setelah orgasme tadi. Dengan berpelukan, ku gulingkan tubuhnya ke sampingku, kini posisiku ada di atas tubuhnya dengan penis tetap tertancap di kemaluanku.
“giliranku honeyku.. , aku ingin memberikan kamu kenikmatan, seperti yang udah kamu berikan kepadaku.”
Ku tekan dadanya yang bidang dengan kedua tanganku, lalu ku angkat pelan pelan pantatku
“Oookhh…..” Wagino memegang kedua tanganku sambil matanya membeliak
“kenapa honeyku ?”
“penisku kayak di sedot ke atas.” Akupun tersenyum sambil menurunkan kembali pantatku, ku lakukan beberapa saat, hingga ku lihat Wagino pun merem melek keenakkan. Sesekali ku goyangkan pantatku ke kanan dan ke kiri.
Tiba-tiba pintu kamar terbuka, Marlena pun masuk sambil ketawa-ketawa
“Wah, enak koq gak ngajak-ngajak. Gimana ? bener khan yang gue bilang, Wagino tuh jago banget, gue aja udah gak tau berapa kali gue di KO in dia.”
“Iya Marlen, kamu dapet dari mana sih ?”
“rahasia donk, ya gak say ?” jawabnya sembari mencium Wagino. Mereka pun berpagutan, lalu Marlena berhenti dan melepas pakaiannya. Dikangkanginnya muka Wagino dengan posisi berhadapan denganku. Waginopun tanpa disuruh langsung dilahapnya memek Marlena, sehingga Marlena pun mendesis keenakan. Buah dada ku disambar oleh Marlena dan dihisap hisapnya, tangan yang satu memilin milin putingku. Hal ini membuatku merem melek keenakan, sungguh suatu sensasi luar biasa timbul dalam diriku, inilah threesome pertamaku. Gairahku terus memuncak sehingga datanglah gelombang orgasme ku yang ke dua. Marlena dan Wagino seperti mengetahui akan keadaanku, akupun dipeluk oleh Marlena dan dikulum nya bibirku. Ada perasaan yang sulit diungkapkan ketika Marlena menciumku, tapi yang kuingat adalah gelora birahi membara yang menuntunku menuju gerbang orgasme. Wagino pun menyambut hentakanku dengan mengangkat pantatnya ke atas sehingga batangnya terbenam habis ke dalam kemaluanku dan menyentuh G-spot ku. Akupun mengerang panjang
“Aaakkkkhhhh………..” cairan orgasme ku mendesir keluar membasahi penis Wagino, akupun terkulai dalam pelukan Marlena. Marlena memandangku sambil membelai rambutku, dia menciumku mesra. Akupun membalasnya, aku merasa bahagia seperti menemukan kembali cinta yang hilang.
Aku membaringkan diriku ke sebelah, ku lihat Marlena mengulum batang kemaluan Wagino.
“Ehm.. cairanmu mu enak banget Marlena” aku hanya tersenyum mendengar perkataan sahabatku itu. Lalu Marlena pun berubah posisi, dia berbalik menghadap Wagino, di enjotnya penis Wagino. Dengan liar ia bergoyang sambil mulutnya terus menceracau dan mendesis, payudaranya yang satu dihisap Wagino, yang satu putingnya di pilin pilin. Lalu tubuhnya bergetar hebat, dicengkeramnya pundak Wagino
“Ooohhhh……. Waginooo……. aakkuuu kelluuaarrrr……..” Waginopun lalu bangkit, sambil mengangkat tubuh Marlena dia membaringkan Marlena lalu menggenjotnya. Sodokannya begitu cepat sehingga tubuh Marlena terguncang guncang. Lalu diapun mengerang
“Aaakkkkhhhh……….. bbbuuuu………. Aakkuuu uuddaahh mmooo kelluuaarrrr……..” Marlena dengan sigap langsung menyambar penis Wagino dan mengulumnya. Wagino pun langsung mengejang, seketika ditariknya kepala Marlena sambil menyemprotkan spermanya ke dalam mulut Marlena. Tampak cairan kental keputihan meleleh dari sela sela bibir Marlena. Akupun beringsut maju, turut serta mengulum batang dan peju Wagino. Akhirnya kami bertiga tidur bareng dalam keadaan bugil.
Itulah awal cerita yang membawaku ke dalam petualangan sex yang lebih liar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar